Sabtu, 30 April 2011

KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHOLDUN DAN IBNU SINA


Oleh : Ahmad Nur Fadlillah (UIN MALIKI MALANG)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan manusia. Pendidikan juga sebagai penopang sebuah Negara, pendidikan merupakan suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan pencapaian kemajuan dalam segala bidang. Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai perbuatan, (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemilik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama .[1] Selain itu, pendidikan dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian. Melalui pendidikan, manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Kemajuan yang dicapai peradaban Islam di zaman kekhalifahan tak lepas dari keberhasilan dunia pendidikan. Pada zaman itu, kota-kota Islam telah menjelma menjadi pusat pendidikan dan peradaban yang sangat maju. Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmu-Nya. Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina adalah intelektual muslim yang mempunyai andil terhadap pendidikan, dimana Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina memberikan pemikirannya tentang konsep pendidikan.
1.2     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas timbul beberapa pertanyaan yang akan dibahas dalam makalah ini :
1.   Bagaimana konsep pendidikan menurut Ibnu Kholdun ?
2.   Bagaimana konsep pendidikan menurut Ibnu Sina ?
1.3     Tujuan
Dari pertanyaan diatas, tujuan ditulisnya makalah ini adalah :
1.   Untuk mengetahui konsep pendidikan menurut Ibnu Khaldun
2.   Untuk mengetahui konsep pendidikan menurut Ibnu Sina

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pendidikan Perspektif Ibnu Kholdun
2.1.1 Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar.[2] atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Ia dilahirkan pada 7 Mei 1332 di Tunisia.
            Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan dan pengalamannya. Hal inilah salah satu pendorong kemunculan karya fenomenalnya Muqaddama Al Alamat (pengantar fenomenologis) yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah (prolegomena) saja.
            Pada tahun 1352 Ibnu Kahldun berkelana ke Barat dan menetap di Fez. kemudian beliau pergi ke timur menuju Iskandariah dan Kairo. Disana beliau bertemu dengan Mamluk Sultan Al Zhahir Barquq yang menunjuknya menjadi guru besar fiqh mazhab Maliki dan hakim agung Mesir. Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara.
Setelah keluar dari penjara mulailah Ibnu Khaldun berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.
            Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Menjelang akhir hayatnya pada 1401, Ibnu Khaldun bertemu dengan Timurlane di luar garis perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut ilmuwan ini dengan antusias dan mengemukakan minatnya untuk mengangkat Ibnu Khaldun sebagai pejabat pemerintahannya. Ibnu Khaldun sendiri kemudian lebih memilih untuk kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaanya sebagai qadhi dan penulis hingga akhir hayatnya. Secara sederhana biografi Ibnu Khaldun ini dapat dibagi kepada tiga fase: Fase Pertama, masa pendidikan. Fase Kedua, masa politik praktis. Fase ketiga, masa kepengajaran dan kehakiman.
2.1.2 Hakikat dan Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan sangatlah prinsip dalam sebuah lembaga pendidikan, sebab segala sesuatu yang akan dilalaksanakan oleh guru dan yang akan dilakukan oleh murid dalam proses pendidikan ditentukan oleh tujuan pendidikan itu sendiri. Rumusan tujuan pendidikan merupakan gambaran bentuk-bentuk tingkah laku yang dicapai peserta didik setelah berlangsungnya proses pendidikan, baik tingkah laku yang berkaitan dengan proses berpikir (kognitif), tingkah laku yang berkaitan dengan sikap (apektif), maupun tingkah laku yang berkaitan dengan keterampilan (psikomotor).
Lebih lanjut Ibnu Khaldûn mengatakan bahwa: ”Kemampuan manusia untuk berpikir baru diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam dirinya. Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia memiliki tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan, dan dianggap sebagai binatang. Sebelum mencapai tamyiz, manusia adalah materi seluruhnya (huyuliy), karena dia tidak mengetahui semua pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan ('ilm) yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Maka kemanusiaannya pun mencapai kesempurnaan eksistensinya.”[3]
Menurut Ibnu Khaldûn, yang sangat esensial dari tujuan pendidikan itu untuk membedakan antara manusia dengan hewan, sebab pada dasarnya manusia adalah termasuk pada jenis hewan. Dan untuk membantu manusia dalam kehidupannya mencari rizki. Ia berkata bahwa tujuan atau lulusan (output) yang ingin dicapai oleh Ibnu Khaldûn dalam proses pendidikan, terutama pendidikan Islam adalah dapat membantu manusia untuk mencari rezki atau memperoleh lapangan pekerjaan, agar dapat melangsungkan kehidupannya di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a.       Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini akan mendapat faedah bagi masyarakat.
b.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
c.       Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan yaitu:
  1. Pengaruh filsafat sosiologi yang tidak bisa memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
  2. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
  3. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.[4]
2.1.3  Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f. Menghindari kekerasan dalam mengajar.[5]
            Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.[6]
2.1.4 Hakikat Peserta Didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[7]
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[8]
2.1.5 Hakikat Kurikulum
Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Ilmu Pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu pengetahuan syar’iyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada “warta” otoritatif syar’i (Tuhan/Rosul) dan akal manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Itu pun masih harus berada dalam kerangka diktum dasar “warta” otoritatif tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Al-Qur’an, Hadits, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
b. Ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
(1) Ilmu Mantik (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
(2) Ilmu Pengetahuan Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan, baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan sebagainya.
(3) Ilmu Metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
(4) Ilmu Matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’lim yakni: a) Ilmu Ukur (al –Handasah); b) Ilmu Aritmatika; c) Ilmu Musik; d) Astronomi.[9]
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
            Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.[10]
2.1.6 Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.[11]
2.1.7 Hakikat Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu:
  1. Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
  2. Dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
  3. Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
  4. Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam).
Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.

2.2 Pendidikan Perspektif  Ibnu Sina
2.2.1 Biografi Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan pebedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersesut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.[12]
Dalam sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Adapun Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afganistan.
Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
  • Mahmud al-Massah (ahli matematika)
  • Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
  • Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
2.2.2 Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil  (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah  di masyarakat.
2.2.3 Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[13]
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam masyarakatnya.[14]
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga. Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an.
Selanjutnya kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak.
Startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari  dan dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya.  .
Dengan melihat cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
2.2.4  Metode Pengajaran
Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain :
a.       Metode talqin : Digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya,
b.      Metode demontrasi : digunakan dalam cara mengajar menulis. terlebih dahulu guru mencontohkan tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muridnya. Setelah itu barulah menyuruh para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf  hijaiyyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
c.       Metode pembiasaan dan teladan: Pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm perkembangan jiwa si anak.
d.       Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
e.       Metode magang: dengan cara menggabungkan teori dan praktek. 
f.       Metode penugasan: guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.
Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
2.2.5 Konsep Guru
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.[15]
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
2.2.6 Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya tampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluq yang harus dididik, dalam rangka menjalankan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar tetap hidup bermasyarakat dengan baik. Dalam pada itu hendanya tidak mengabaikan hakikat tujuan pendidikan itu sendiri yaitu berorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karena itu guru sebagai pendidik diharuskan mampu membaca situasi dan kondisi dalam pembelajaran, mengetahui psikologi anak dan sebagainya.
Menurut Ibnu Khaldun, yang sangat esensial dari tujuan pendidikan itu untuk membedakan antara manusia dengan hewan, sebab pada dasarnya manusia adalah termasuk pada jenis hewan. Dan untuk membantu manusia dalam kehidupannya mencari rizki. Ia berkata bahwa tujuan atau lulusan (output) yang ingin dicapai oleh Ibnu Khaldûn dalam proses pendidikan, terutama pendidikan Islam adalah dapat membantu manusia untuk mencari rezki atau memperoleh lapangan pekerjaan, agar dapat melangsungkan kehidupannya di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik dan mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya yaitu ilmu pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat tiga sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan, yaitu metode indoktrinasi, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Begitu juga dengan Ibnu Sina, Pemikirannya dalam bidang pendidikan ada 5 aspek : yaitu Tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, guru dan pelaksanaan hukuman dalam pendidikan, tujuan pendidikannya adalah mengarahkan peserta didik pada perkembangan seluruh potensi yang di miliki seseorang ke arah yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti serta mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang di miliki. Dengan kata lain tujuan pendidikan Ibnu Sina didasarkan pada insan kamil, yaitu manusia yang terbina seluruh potensi secara seimbang dan menyeluruh, dan Ibnu Sina juga ingin agar tujuan pendidikan universal itu diarahkan pada terbentuknya manusia yang sempurna. Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum di dasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk anak usia 3 sampai 5 tahun diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian, anak usia 6 sampai 14 tahun mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran syair dan pelajaran olahraga. Selanjutnya usia 14 tahun ke atas mata pelajaran yang di berikan sesuai bakat dan minat. Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin, metode demontrasi metode pembiasaan dan teladan, metode diskusi, etode magang dan metode penugasan. Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni. Dalam konsep hukuman, Ibn Sina memperbolehkan dengan cara yang ekstra hati-hati, dan hanya boleh di lakukan dalam keadaan terpaksa, sedangkan dalam keadaan normal hukuman tidak boleh di lakukan. Sikap humanistik ini amat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Jawad Ridla, Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press,Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Khaldûn Ibnu,  Muqaddimah Ibnu Khaldûn, Terj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005
Hosain Sayyed, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam, IRCisod, Yogyakarta,2006
Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1990, Edisi III
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994
Azra Azumardi Prof. Dr MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999
Suharto Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Ar-Ruzz, Yogyakarta: 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar